Undang-Undang Tentang Perumahan dan Permukiman.
Untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimuat dalam Undang-undang Dasar 1945 dilaksanakan pembangunan nasional, yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia yang menekankan pada keseimbangan pembangunan kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah, dalam suatu masyarakat Indonesia yang maju dan berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila. Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Perumahan dan permukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya, dan menampakkan jati diri. Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam pembangunan dan pemilikan, setiap pembangunan rumah hanya dapat dilakukan di atas tanah yang dimiliki berdasarkan hak-hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sistem penyediaan tanah untuk perumahan dan permukiman harus ditangani secara nasional karena tanah merupakan sumber daya alam yang tidak dapat bertambah akan tetapi harus digunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Proses penyediaannya harus dikelola dan dikendalikan oleh Pemerintah agar supaya penggunaan dan pemanfaatannya dapat menjangkau masyarakat secara adil dan merata tanpa menimbulkan kesenjangan ekonomi dan sosial dalam proses bermukimnya masyarakat. Untuk mewujudkan perumahan dan permukiman dalam rangka memenuhi kebutuhan jangka pendek, menengah, dan panjang dan sesuai dengan rencana tata ruang, suatu wilayah permukiman ditetapkan sebagai kawasan siap bangun yang dilengkapi jaringan prasarana primer dan sekunder lingkungan.
Penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman mendorong dan memperkukuh demokrasi ekonomi serta memberikan kesempatan yang sama dan saling menunjang antara badan usaha negara, koperasi, dan swasta berdasarkan asas kekeluargaan. Pembangunan di bidang perumahan dan permukiman yang bertumpu pada masyarakat memberikan hak dan kesempatan yang seluas- luasnya bagi masyarakat untuk berperan serta. Di samping usaha peningkatan pembangunan perumahan dan permukiman perlu diwujudkan adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pemanfaatan dan pengelolaannya. Sejalan peran serta masyarakat di dalam pembangunan perumahan dan permukiman, Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggungjawab untuk melakukan pembinaan dalam wujud pengaturan dan pembimbingan, pendidikan dan pelatihan, pemberian bantuan dan kemudahan, penelitian dan pengembangan yang meliputi berbagai aspek yang terkait antara lain, tata ruang, pertanahan, prasarana lingkungan, industri bahan dan komponen, jasa konstruksi dan rancang bangun, pembiayaan, kelembagaan, sumber daya manusia serta peraturan perundang-undangan.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang menjamin perlindungan hak-hak atas tanah yang dimiliki pemilik tanah, dalam pelepasan hak atas tanah didasarkan pada asas kesepakatan, memberikan landasan bagi setiap kegiatan pembangunan di bidang perumahan dan permukiman untuk terjaminnya kepastian dan ketertiban hukum tentang penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah memberikan landasan bagi pembangunan perumahan dan permukiman yang pada hakikatnya sangat kompleks dan bersifat multidemensional serta multisektoral, perlu ditangani secara terpadu melalui koordinasi yang berjenjang di setiap tingkat pemerintahan serta harus sesuai dengan tata ruang. Di samping itu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, juga memberikan landasan bagi pembinaan perangkat kelembagaan di daerah dalam rangka penyerahan urusan pemerintahan di daerah dengan pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab dengan titik berat pada daerah tingkat II.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, memberikan landasan bagi pembinaan penyuluhan kegiatan pembangunan perumahan dan permukiman di daerah perdesaan dalam rangka mendorong dan menggerakkan usaha bersama masyarakat secara swadaya.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan landasan bagi kewajiban melakukan pemantauan dan pengelolaan lingkungan perumahan dan permukiman, sejalan dengan kewajiban setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan pembangunan rumah atau perumahan untuk memenuhi persyaratan teknis, ekologis, dan administratif.
Undang-Undang Tentang Perencanaan Ruang.
Pencapaian tujuan penyelenggaraan penataan ruang nasional adalah mewujudkan ruang wilayah Nusantara yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berdasarkan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.
Ketentuan tersebut di atas menuntut kualitas rencana tata ruang wilayah yang tinggi, di mana rencana tata ruang wilayah harus memperhatikan:
a. perkembangan lingkungan strategis (global, regional, nasional);
b. upaya pemerataan pembangunan;
c. keselarasan pembangunan nasional dan daerah;
d. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
e. rencana tata ruang yang terkait dengan wilayah perencanaan (rencana tata ruang wilayah administratif yang lebih tinggi/lebih rendah; rencana rinci tata ruang dari wilayah administrasi yang lebih tinggi; serta rencana tata ruang wilayah dari daerah yang berbatasan)
Rencana tata ruang wilayah harus memuat:
a. tujuan , kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah;
b. rencana struktur ruang yang mencakup rencana sistem perkotaan dan rencana sistem jaringan prasarana utama (transportasi, energi dan kelistrikan, telekomunikasi, dan sumber daya air);
c. rencana pola ruang yang mencakup rencana pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung dan kawasan budi daya;
d. penetapan kawasan strategis;
e. arahan pemanfaatan ruang berupa indikasi program utama jangka menengah lima tahunan (dengan memperhatikan kemampuan pendanaan pemangku kepentingan);
f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang yag mencakup arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, indikasi arahan peraturan zonasi, serta arahan sanksi (administratif);
g. khusus untuk wilayah kota, rencana tata ruang juga harus memuat:
- rencana penyediaan ruang terbuka hijau;
- ruang terbuka nonhijau
- rencana penyediaan dan pemanfaatan jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana.
Contoh aplikasi :
1. Pembagian kewenangan secara tegas antara Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Dapat dipahami bahwa pencapaian tujuan penyelenggaraan penataan ruang nasional (mewujudkan ruang wilayah Nusantara yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berdasarkan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional) menuntut peran seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah di semua tingkatan. Untuk menghindari tumpang tindih kewenangan, UUPR menegaskan peran dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan ruang.
Penegasan kewenangan ini berarti pula penegasan tugas masing-masing tingkatan pemerintahan dalam penyelenggaraan penataan ruang. Penerapan dari ketentuan ini menyaratkan pemahaman pemangku kepentingan (termasuk pemerintah dan konsultan perencana ruang) terhadap tugas masing-masing. Dengan demikian pemerintah di berbagai tingkatan dapat fokus pada apa yang menjadi tugasnya serta tidak mencampuri substansi yang menjadi tugas pemerintah di atas/bawahnya. Namun demikian hal ini perlu diimbangi dengan keterbukaan sikap untuk menciptakan sinergi di antara Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, sehingga penyelenggaraan penataan ruang dapat mencapai hasil optimal.
2. Penegasan muatan rencana tata ruang
UUPR secara tegas mengatur muatan rencana tata ruang wilayah di semua tingkatan administrasi. Pengaturan muatan rencana tata ruang juga mencakup hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan rencana tata ruang, serta pemanfaatan rencana tata ruang untuk penyusunan RPJP, RPJM, program beserta pembiayaannya, serta sebagai landasan kegiatan pemanfaatan ruang sekaligus sebagai alat untuk melakukan pengendalian pemanfaatan ruang.
Ketentuan tersebut di atas menuntut kualitas rencana tata ruang wilayah yang tinggi, di mana rencana tata ruang wilayah harus memperhatikan:
a. perkembangan lingkungan strategis (global, regional, nasional);
b. upaya pemerataan pembangunan;
c. keselarasan pembangunan nasional dan daerah;
d. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
e. rencana tata ruang yang terkait dengan wilayah perencanaan (rencana tata ruang wilayah administratif yang lebih tinggi/lebih rendah; rencana rinci tata ruang dari wilayah administrasi yang lebih tinggi; serta rencana tata ruang wilayah dari daerah yang berbatasan); Terkait dengan muatan rencana, UUPR mengatur bahwa rencana tata ruang wilayah harus memuat:
a. tujuan , kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah;
b. rencana struktur ruang yang mencakup rencana sistem perkotaan dan rencana sistem jaringan prasarana utama (transportasi, energi dan kelistrikan, telekomunikasi, dan sumber daya air);
c. rencana pola ruang yang mencakup rencana pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung dan kawasan budi daya;
d. penetapan kawasan strategis;
e. arahan pemanfaatan ruang berupa indikasi program utama jangka menengah lima tahunan (dengan memperhatikan kemampuan pendanaan pemangku kepentingan);
f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang yag mencakup arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, indikasi arahan peraturan zonasi, serta arahan sanksi (administratif);
g. khusus untuk wilayah kota, rencana tata ruang juga harus memuat:
- rencana penyediaan ruang terbuka hijau;
- ruang terbuka nonhijau
- rencana penyediaan dan pemanfaatan jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana.
Deskripsi di atas menggambarkan betapa komprehensifnya sebuah rencana tata ruang
wilayah harus disusun. Ini merupakan tantangan bagi pemerintah dan para perencana
untuk menghasilkan produk yang memenuhi ”spesifikasi” yang ditetapkan dalam
UUPR. Apabila ”spesifikasi” tersebut dapat dipenuhi, kita dapat bersikap optimistik
bahwa produk rencana tata ruang dapat berfungsi secara optimal sebagai acuan
pembangunan nasional dan daerah. Pengalaman selama ini yang menunjukkan produk
rencana tata ruang tidak berfungsi optimal mengindikasikan bahwa produk tersebut
belum sepenuhnya memenuhi ”spesifikasi” produk yang ditetapkan dalam UUPR.
3. Sifat komplementer antara RTRWN, RTRWP, dan RTRWK
Isu ini pada dasarnya masih terkait dengan isu pertama dan kedua yang disampaikan di atas. Meski demikian perlu ditegaskan bahwa UUPR mengatur agar muatan RTRWN, RTRWP, dan RTRWK tidak saling tumpang tindih. Oleh karena itu, muatan rencana tata ruang wilayah sebagaimana disampaikan pada butir 2 di atas harus dikaitkan dengan pembagian kewenangan sebagaimana disampaikan pada butir 1. Penegasan sifat komplementer antara RTRWN, RTRWP, dan RTRWK dimaksudkan agar ketiga produk rencana tersebut bersifat saling melengkapi, sehingga apabila ”disatukan” akan membentuk rencana tata ruang yang serasi dan selaras antar tingkatan wilayah administrasi. Untuk itu hal yang harus diperhatikan adalah: substansi yang
telah diatur dalam rencana tata ruang wilayah administrasi yang lebih tinggi tidak diatur berbeda dalam rencana tata ruang wilayah administrasi di bawahnya. Dengan kata lain,substansi yang telah diatur dalam RTRWN harus diacu dalam RTRWP. Sementara substansi yang telah diatur dalam RTRWN dan RTRWP harus diacu dalam RTRWK. Penerapan dari ketentuan ini diperkirakan akan menghadapi kendala manakala substansi yang diatur dalam rencana tata ruang wilayah administrasi yang lebih tinggi tidak sejalan dengan aspirasi wilayah administrasi yang lebih rendah. Untuk itu, komunikasi yang intensif antartingkatan pemerintahan dalam proses penyusunan
rencana tata ruang merupakan tantangan yang harus dihadapi secara efektif.
4. Penerapan standar pelayanan minimal dalam penyelenggaraan penataan ruang
UUPR menekankan pentingnya penerapan standar pelayanan minimal (SPM) dalampenyelenggaraan penataan ruang. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin pemerintah daerah dapat menjalankan fungsi sesuai dengan kewenangannya dengan baik, di samping untuk menjamin hak-hak masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang. Tantangan ke depan dari ketentuan mengenai SPM dalam bidang penataan ruang adalah menyusun SPM dan indikator pencapaiannya, menyosialisasikan kepada pemerintah daerah, serta melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah dalam menerapkan SPM yang telah ditetapkan. Tantangan yang tidak kalah pentingnya adalah merumuskan mekanisme pengambilalihan kewenangan pemerintah daerah yang tidak mampu menerapkan SPM yang telah ditetapkan.
5. Perhatian yang lebih besar terhadap kelestarian lingkungan hidup
Kondisi lingkungan hidup yang tidak kunjung membaik selama penerapan UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang telah mendorong kesadaran akan pentingnya pengaturan aspek lingkungan hidup dalam UUPR yang baru. Disamping perhatian terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana telah disampaikan di atas, beberapa ketentuan dalam UUPR yang terkait dengan lingkungan hidup, antara lain, adalah:
a. ketentuan agar alokasi kawasan hutan dalam satu daerah aliran sungai (DAS) sekurang-kurangnya 30% (tigapuluh persen) dari luas DAS dengan distribusi disesuaikan dengan kondisi ekosistem DAS;
b. ketentuan agar alokasi ruang terbuka hijau (RTH) di kawasan perkotaan sekurangkurangnya 30% (tigapuluh persen) dari luas kawasan perkotaan, di mana 2/3nya adalah RTH publik dengan distribusi disesuaikan dengan sebaran penduduk.
Tantangan dari penerapan ketentuan ini adalah:
a. kemungkinan penurunan luas kawasan hutan dan RTH dalam satu wilayah administrasi yang memiliki kawasan hutan dan/atau RTH lebih dari 30% (tigapuluh persen) sebagaimana disyaratkan dalam UUPR;
b. pendistribusian kawasan hutan dalam satu DAS yang disesuaikan dengan kondisi ekosistem DAS dapat berujung pada konsentrasi kawasan hutan di wilayah hulu; dipandang tidak menguntungkan daerah yang berlokasi di wilayah hulu:
- membutuhkan mekanisme insentif-disinsentif dan mekanisme subsidi silang yang tepat agar daerah yang berlokasi di wilayah hulu tidak dirugikan akibat kehilangan peluang pemanfaatan sumber daya alam yang dimiliki;
- membutuhkan koordinasi yang sangat baik agar seluruh daerah administrasi menyepakati distribusi kawasan hutan dalam satu DAS.
6. Keterkaitan antara rencana tata ruang dengan program pembangunan
Sebagaimana disampaikan di atas, rencana tata ruang wilayah disusun dengan memperhatikan RPJP dan RPJM yang ada. Selain itu rencana tata ruang wilayah juga memuat indikasi program utama jangka menengah lima tahunan yang mejadi pedoman pemangku kepentingan dalam menyusun program sektoral beserta pembiayaannya. Ketentuan ini menunjukkan adanya hubungan yang sangat erat antara rencana tata ruang dengan program pembangunan sektoral dan wilayah.
Keterkaitan ini dipertegas dalam ketentuan mengenai kewajiban masyarakat, di mana dalam memanfaatkan ruang masyarakat diwajibkan untuk menaati rencana tata ruang yang berlaku. Selain itu terdapat larangan bagi pejabat yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang untuk menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Ketentuan tersebut memiliki konsekuensi berupa sanksi pidana (penjara dan denda) serta sanksi administratif yang tidak ringan. Terkait dengan hal tersebut di atas, tantangan utama yang dihadapi adalah bagaimana
menyusun rencana tata ruang wilayah yang berkualitas, terutama dalam memahami peluang dan tantangan pengembangan wilayah, mendefinisikan arah perkembangan wilayah yang akan dituju, serta merumuskan indikasi program utama jangka menengah lima tahunan yang rasional. Dapat dipahami bahwa menyusun indikasi program pembangunan untuk jangka waktu yang panjang (20 tahun sesuai dengan masa berlaku rencana) bukan merupakan hal yang mudah.
7. Penegasan mengenai hak masyarakat
Sejalan dengan semakin meningkatnya demokratisasi di Indonesia, hak masyarakat merupakan obyek pengaturan yang mendapat perhatian cukup besar dalam UUPR. Hak-hak masyarakat yang diatur dalam UUPR perlu mendapat perhatian dari pemerintah dan para perencana dalam menyusun dan mengimplementasikan rencana tata ruang. Hak-hak masyarakat tersebut adalah;
a. hak untuk mengetahui rencana tata ruang
b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat dari penataan ruang;
c. menerima penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
d. mengajukan keberatan kepada pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat yang berwenang; dan
f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan
kerugian.
Dengan adanya hak-hak tersebut di atas, pemerintah dan perencana tata ruang dituntut untuk menyusun sebuah rencana tata ruang yang berkualitas, yang penerapannya tidak menimbulkan kerugian masyarakat. Bila tidak, pemerintah akan menghadapi banyak tuntutan dari masyarakat yang mengalami kerugian akibat pelaksanaan pembangunan, meski pelaksanaan pembangunan tersebut telah sesuai dengan rencana tata ruang.
8. Penegasan kewajiban dan larangan serta ketentuan sanksi
UUPR secara tegas mengatur kewajiban masyarakat sebagai berikut:
a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundangundangan dinyatakan sebagia milik umum.
Selain itu UUPR juga melarang pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang untuk menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan tersebut di atas memiliki konsekuensi berupa ancaman pidana penjara dan denda di samping sanksi administratif. Tantangan dalam penerapan ketentuan tersebut di atas adalah dalam penegakan hukum, mengingat selama ini masyarakat telah ”terbiasa” dengan kasus pelanggaran rencana tata ruang tanpa konsekuensi sanksi apa pun. Di sisi lain, para pejabat yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang cenderung untuk ”menahan diri” dalam menerbitkan izin yang dapat berdampak pada penurunan investasi. Untuk itu
diperlukan upaya penyadaran seluruh pemangku kepentingan mengenai pentingnya penegakan hukum terhadap pelanggaran rencana tata ruang dalam rangka mewujudkan ruang kehidupan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
9. Batas waktu penyesuaian rencana tata ruang dengan ketentuan UUPR
Sehubungan dengan perubahan ketentuan terkait dengan rencana tata ruang, UUPR mengatur batas waktu penyesuaian rencana tata ruang sebagai berikut:
a. RTRWN harus disesuaikan dengan ketentuan UUPR dalam waktu satu setengah tahun sejak pemberlakuan UUPR;
b. RTRWP harus disesuaikan dengan ketentuan UUPR dalam waktu 2 (dua) tahun sejak pemberlakuan UUPR;
c. RTRWK harus disesuaikan dengan ketentuan UUPR dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak pemberlakuan UUPR;
Waktu penyesuaian yang sangat terbatas tersebut di atas tentu merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah dan para perencana ruang. Apalagi apabila dikaitkan dengan ketentuan bahwa rencana tata ruang wilayah harus mengacu pada rencana tata ruang di atasnya. Artinya, penyesuaian RTRWP harus menunggu selesainya proses penyesuaian RTRWN dan penyesuaian RTRWK harus menunggu proses penyesuaian RTRWP.
Undang-Undang Republik Indonesia :
- UU No. 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan
- UU No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun
- UU No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman
- UU No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung
- UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
- UU No. 38 Tahun 2004 Tentang Jalan
- UU No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025
- UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
- UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia :- PP No. 4 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun
- PP No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah
- PP No. 69 Tahun 1996 Tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang
- PP No. 80 Tahun 1999 Tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri
- PP No. 10 Tahun 2000 Tentang Tingkat Ketelitian Peta Untuk Penataan Ruang Wilayah
- PP No. 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah
- PP No. 39 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan
- PP No. 40 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional
- PP No. 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
- PP No. 34 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan
- PP No. 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
Peraturan Presiden Republik Indonesia :- PPres No. 19 Tahun 2005 Tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan
- PPres No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Peraturan Menteri Republik Indonesia :- PerMen Dalam Negeri No. 3 Tahun 1992 Tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Daerah Tentang Rumah Susun
- PerMen Negara Perumahan Rakyat No. 32 Tahun 2006 Tentang Petunjuk Teknis Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri
- PerMen Dalam Negeri No.1 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan
- PerMen Negara Perumahan Rakyat No. 8 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 4/Permen/M/2007 Tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Syariah Bersubsidi
Keputusan Presiden Republik Indonesia :- Kepres No. 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan
- Kepres No. 63 Tahun 2000 Tentang Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional
Keputusan Menteri Republik Indonesia :- KepMen_Dagri_PU_NegPRT No. 648-384 Tahun 1992 Tentang Pedoman Pembangunan Perumahan dan Pemukiman dengan Lingkungan Hunian yang Berimbang
Diposting oleh
Rida's World
10.44
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan, dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih.
Pranata atau institusi adalah norma atau aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus. Norma/aturan dalam pranata berbentuk tertulis (undang-undang dasar, undang-undang yang berlaku, sanksi sesuai hukum resmi yang berlaku) dan tidak tertulis (hukum adat, kebiasaan yang berlaku, sanksinya ialah sanksi sosial/moral (misalkan dikucilkan)). Pranata bersifat mengikat dan relatif lama serta memiliki ciri-ciri tertentu yaitu simbol, nilai, aturan main, tujuan, kelengkapan, dan umur.
Pembangunan ialah suatu proses perubahan individu/kelompok dalam kerangka mewujudkan peningkatan kesejahteraan hidup, yang juga sebagai pradigma perkembangan yang terjadi dengan berjalannya perubahan peradaban hidup manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Jadi, Hukum Pranata Pembangunan adalah sistem yang berisi norma-norma atau aturan yang berkaitan dengan proses perubahan individu/kelompok untuk peningkatan kesejahteraan hidup.